Ke-SH-an : Ajining Diri Gumantung Ing Lathi



AJINING DIRI GUMANTUNG ING LATHI
Masyarakat Jawa sangat menekankan pentingnya etika atau sopan santun dalam pergaulan.
Oleh sebab itu, harga diri atau prestise seseorang juga ditentukan oleh penampilannya, baik dalam bentuk perilaku atau tampilan fisik. Penampilan perilaku berupa pakaian yang dikenakannya. Orang Jawa memberikan peringatan agar seseorang dapat menjaga penampilan itu, penampilan lisan/ucapan dan tampilan berbusana. Ungkapan itu berbunyiajining dhiri ana lathi, ajining raga ana busana(harga diri seseorang terletak pada bibir dan harga badan ada di pakaian). Yang dimaksud denga ‘bibir’ disini adalah ucapan atau kata-katanya. Nasihat itu dapat memenuhi harapan jika dilandasi dengan bertindaksamadya(wajar).
Mari kita urai ungkapan itu satu per satu.
Ajining dhiri ana lathi(harga diri terletak pada ucapannya). Ucapan atau lisan memegang peranan penting bagi seseorang karena diyakini harga diri seseorang ditentukan oleh gerak bibir (ucapan atau lisan), seseorang harus berhati-hati menjaga lisannya. Kita harus benar-benar mempertimbangkan secara cermat akibat yang dapat ditimbulkan oleh ucapan itu. Kita perlu bertanya apakah ucapan itu mendatangkan persoalan bagi diri sendiri atau merugikan dan menyakitkan orang lain. Ucapan seseorang haruslah disadari sebagai cerminan pikiran dan pribadi seseorang. Dengan demikian, terlebih lagi jika ucapan itu berhubungan dengan kepentingan dengan orang lain. Orang lain akan menaruh kepercayaan kepada diri kita jika kita dapat memegang ucapan yang telah dinyatakannya. Seseorang yang tidak mampu menepati ucapan atau janjinya pasti tidak akan mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Semakin sering mengingkari ucapan atau janjinya, semakin cepat orang kehilangan penghargaan dari orang lain. Sebaliknya, orang yang dapat menjaga lisan atau ucapannya, akan menambah wibawa karena orang lain percaya apa yang dinyatakan adalah kebenaran yang selalu ditepainya.Dalam nasihat yang lain, kita perlu menghindarkan diri dari predikat sebagai orang yang omongane mencla-mencle(bicaranya plin-plan),yakni orang yang tidak dapat dipercaya tutur katanya. Dalam masyarakat Jawa, julukan orang yang tidak dapat dipercaya tutur katanya dikenal dalam ungkapan esuk dhele sore tempe(padi kedelai, sore tempe). Maksudnya sering berubah-ubah pendirian dan kata-katanya. Orang yang tidak dapat dipegang ucapannya juga dinilai negatif dengan sebutan lunyu ilate(licin lidahnya), artinya selalu berubah-ubah ucapannya. Orang yang esuk dhele sore tempe atau lunyu ilate pasti kehilangan harga dirinya karena orang lain tidak mudah percaya kepadanya.
Ia memang tidak dapat dipercaya.Sikap menjaga lathi(menjaga ucapan) itu semakin penting pada orang-orang yang mendapat amanah sebagai panutan atau pemimpin. Jika pemimpin tidak dapat dipercaya ucapannya,masyarakat yang menajadi bawahannya akan mengalami kebingungan. Seorang pemimpin seharusnya berbicara konsisten dan benar sehingga tidak menimbulkan keresahan di kalangan bawahan. Salah satu ucapan yang dapat menimbulkan citra harga diri adalah harus berdasarkan kebenaran. Sehubungan dengan itu, orang Jawa memiliki ajaran agar bila mengatakan sesuatu hendaknya dilandasi alasan atau dasar yang akurat, dan tidak diharapkan berbicara asal bicara. Sikap semacam itu sepertii dituntut dalam ungkapan omongane waton, aja waton ngomong(bicaralah dengan dasar, jangan asal bicara).Omongane nganggo waton(berbicara ddengan dasar yang tepat) dapat mengarah pada kebaikan dan kebenaran, sedangkan waton ngomong(asal bicara) dapat menciptakan keresahan. Berbicara yang tanpa waton(dasar) dan waton sulaya(asal berbeda) dengan orang lain. Sikap waton sulaya justru menciptakan penilaian negatif pada orang itu yang mengakibatkan berkurangnya penghargaan orang lain kepadanya.