Ki Ngabehi Soerodiwirjo, Saudara Tertua/Oude Herr PERSAUDARAAN SETIA HATI
Ki Ngabehi Soerodiwirdjo (Eyang Suro) |
Ki Ngabehi Soerodiwirdjo, atau juga dikenal dengan sapaan Eyang Suro merupakan tokoh pendiri Persaudaraan SETIA HATI, sebuah aliran pencak silat yang sangat di segani di dunia persilatan di Indonesia. Ki Ngabehi Soerodiwirdjo mendirikan Setia Hati yang mennurunkan banyak Organisasi Pencak Silat diantaranya Persaudaraan Setia Hati Tunas Muda Winongo, Setia Hati Organisasi (PB PSH 1932), Persaudaraan Setia Hati Terate, dan masih banyak lagi organisasi dan perguruan pencak silat yang mengakui bahwa ajarannya baik teknik (Jurus) dan kerohaniannya bersumber dari SETIA HATI yang didirikan oleh Ki Ngabehi Soerodiwirdjo.
Ki Ngabehi Soerodiwirdjo bernama kecil Muhamad Masdan, lahir pada hari Sabtu
Pahing tahun 1869 di Sedayu Lawas, Gresik, Jawa Timur. Beliau merupakan putra sulung Ki Ngabehi
Soeromihardjo yang bekerja sebagai mantri cacar di Ngimbang, Jombang. Ki ngabehi
Soeromihardjo adalah saudara sepupu RAA Soeronegoro (bupati
Kediri pada saat itu). Ki Ngabehi adalah putera sulung dan mempunyai empat
orang adik yaitu Sdr. Noto Alias Gunari di Surabaya, Sdr. Suradi di Aceh, Sdr.
Wongsoharjo di Madiun, dan Sdr. Kartodwiryo di Jombang.
Keluarga Ki Ngabehi soerodiwirdjo (eyang suro) mempunyai garis keturunan Bupati Gresik, Batoro Katong di Ponorogo, putra Prabu Brawijaya V, Raja Kerajaan Majapahit yang terakhir (1468-1478).
1. Gambaran Umum Figur Ki Ngabehi Soeradiwirjo
Ki Ngabehi Soeradiwirjo bertubuh kecil, ringkih yang berarti rapuh (renceh dalam Bahasa Minang). Selagi muda ia tergolong cakap, tampan, warna kulitnya agak kehitaman, Hidung mancung dan pandangan matanya sangat tajam.
Ia dikaruniai kecerdaasan yang luar biasa. Bagaimana tidak? Hanya orang jenius yang mampu melakukan sinkronisasi ratusan jurus dari puluhan sistem atau aliran pencak silat dari berbagai daerah, yang kemudian dirangkum menjadi 36 jurus saja.
Ki Ngabehi Soeradiwirjo tidak menyukai brute geweld atau kekuatan yang serampangan yang kejam. Ia lebih suka menggunakan akal daripada okol (kekuatan tenaga badan). Orang-orang di luar lingkungan Setia Hati yang pernah bertemu langsung dengan beliau mengatakan secara jujur kepada para saudara Setia Hati, betapa iri hati mereka terhadap para saudara Setia Hati karena tidak merasakan kebahagiaan mendapat pimpinan dari Ki Ngabehi Soeradiwirjo. Mereka tidak saja tertarik pada permainan pencaksilatnya, tetapi juga sifat beliau sebagai manusiadan pemimpin.
Ki Ngabehi Soerodwiryo mempunyai istri bernama Ibu Sariyati Soerodwiryo pada tahun 1905. Sebelum menikah dengan Ibu Sariyati Soerodwiryo, Ki Ngabehi Soerodwiryo menikah dengan seorang wanita dari daerah Padang, Sumatera Barat. Akan tetapi pernikahan tersebut tidak berlangsung lama. Dari hasil pernikahan yang kedua yaitu dengan Ibu Sariyati Soerodwiryo, mempunyai 5 orang anak ( 3 putera dan 2 puteri ) akan tetapi kelima anak tersebut meninggal saat masih kecil.
Ki Ngabehi Soeradiwirjo tergolong orang yang sabar, bermoral tinggi, penuh kasih sayang, menghormati sesama, teliti, cermat, dan seksama. Bila diperlukan dapat juga bertindak tegas, terlebih jika menyangkut prinsip atau hal pokok, Ia tidak dapat di bengkokkan.
Dalam pergaulan di masyarakat, beliau sangat dihormati. Menurut norma-norma Jawa, Ia sudah Mungguh atau pantas menjadi guru, walaupun ia sendiri tidak suka disebut guru. Di kalangan Setia Hati beliau lebih suka disebut saudara tua. Julukan yang terkenal adalah oude heer, yang artinya saudara tertua. Julukan ini muncul sebelum tahun 1920.
Selain itu, beliau mempunyai watak :
- Kasih sayangnya terhadap sesamanya tinggi, sesuai dengan apa yang diajarkannya pada setiap siswa,
teliti dalam segala tindak, cermat, namun juga sangat tegas
- Sebagai guru, Beliau memang mungguh atau pantas, tetapi beliau tidak mau disebut sebagai Guru
- Fasih dalam bahasa Madura, Minang, dan Sunda
- Kecuali mendalami agama Islam, pengetahuan agama lainpun dipelajarinya juga
- Dalam banyak hal, selalau “ya” kecuali yang prinsipal dan sekali bilang “tidak” maka semua siswa tidak ada yang berani membantah lagi - Dalam ilmu kebatinan tidak akan memberikan sesuatu sebelum ada pertanyaan, “camah” kalau ditonjoltonjolkan
- Jawabannya selalu “cekak aos” kalau ditanya
- Rambutnya panjang “kadal menek”, nanti pada tahun 1924 baru dicukur
- Beliau tahan tidak tidur, lebih-lebih bila menghadapi saat penting (wiridan), oleh karena itu matanya cekung dan pandangannya tajam
2.Perantauan Ki Ngabehi Soerodiwirjo
a. Jombang, Jawa Timur (1883-1885)
Ki Ngabehi Soerodiwirjo berasal dari kalangan masyarakat feodal/ningrat yang dapat mengenyam pendidikan di masa penjajahaj Belanda. Setelah 3 tahun mengenyam pendidikan di Sekolah Rakjat, beliau lulus pada tahun 1883 di usia 14 tahun. Kemudian diambil putra oleh pamannya (yang menjabat sebagai Wedana di Wonokromo,dan kemudian pindah menjadi Wedana di Sedayu, Lawas)
Pada tahun 1884 yaitu tepat berusia 15 tahun beliau ikut seorang kontrolir belanda dan di pekerjakan (magang) sebagai seorang juru tulis/klerk dan tinggal serumah bersama Sang Kontrolir. Sepulang kerja ia diserahi tugas mengasuh putra Sang Kontrolir yang masih kecil.
Ia magang tanpa gaji, tapi mendapat makan dan pakaian. Malam harinya ia mengaji agama islam di Masjid Nggedang, Pondok Pesantren Tambak Beras, tak jauh dari tempat tinggalnya. Selain mengaji, ia juga berlatih pencak silat bersama teman-teannya. Sejak itu muncullah minatnya pada pencak silat. Ketika itu Pondok Pesantren Tambak Beras dipimpin oleh 2 orang guru, yaitu Kyai Sa'id dan Kyai Usman.
b. Bandung, Jawa Barat (1885-1886)
Pada tahun 1885 beliau pindah mengikuti Tuan Kontrolir ke Bandung. Di daerah Priangan ini beliau memanfaatkan waktu luangnya untuk menambah pengetahuan dan kepandaian pencak silat (Sunda:Maenpo) dari beberapa pendekar.
Berkat bakat, kemauan keras, kecerdasan, berfikir cepat, dalam waktu setahun ia mampu menghimpun gerak inti berbagai aliran pencak silat, seperti Cimande (Bogor), Ciampea (cabang aliran Cimande), Cikalong (Cianjur), Sumedangan, Cipecut (cabang aliran Cimande), Cibaduyut (Bandung), dan Cimalaya (Karawang).
c. Batavia/Jakarta (1885-1887)
Tahun 18886 Ki Ngabehi Soerodiwirjo mengikuti Tuan Kontrolir pindah ke Batavia (sekarang Jakarta). Beliau berada di kota Batavia hanya satu tahun, tetapi dapat mempergunakan waktun luangnya untuk menambah pengetahuan pencak silat (Betawi:Maen Pukulan) yaitu: Betawen, Kwitang, Monyetan dan Toya.
Pencak Silat Betawi oleh orang Betawi disebut dengan Maen Pukulan, tidak mengenal istilah jurus. Yang ada adalah kiat gerak teknik beladiri. Maen Pukul menitikberatkan pada permainan teknik tangan dan kuda-kuda yang kokoh, serta jarang sekali elakukan tendangan. Ciri khas maen pukulan adalah teknik Bandul yang juga disebut bentuk permainan lonceng sabet Betawi.
Permainan Monyetan merupakan aliran Maenpo Sunda selain Pamacan (Pencak Harimau), juga terdapat pada beladiri China. Beladiri Kwitang, Monyetan dan Toya merupakan bagian beladiri yang berasal dari Shaolin, Tiongkok. Beladiri Kwitang yang dipelajari Ki Ngabehi Soerodiwirjo merupakan bentuk beladiri Kuntao pada masyarakat Tionghoa.
d. Bengkulu, Sumatera (6 Bulan, 1887)
Pada tahun 1887, Ki Ageng Soerodiwirdjo yang saat itu berusia 18 tahun dari Batavia pindah ke Bengkulu mengikuti Tuan Kontrolir pindah tugas kesana, di Bengkulu permainanya kurang lebih sama dengan di Jawa Barat, selang enam bulan kemudian beliau pindah ke Padang, Sumatera Barat. Di sini beliau diangkat sebagai Asisten Residen Tetap.
e. Padang, Sumatera Barat (1887-1898)
Di Padang dan Sekitarnya (Padangsche Benedenlanden/Padang Hilir), Ki Ngabehi Soerodiwirjo berkesempatan melihat dan mempelajari permainan pencak silat yang sangat berbeda di Jawa Tiur, Jawa Barat dan Batavia. Dari daerah tersebut salah satu gurunya adalah Datuk Rajo Batuah. Datuk Rajo Batuah merupakan guru pertamanya di daerah Sumatera Barat, dari gurunya beliau memperoleh beragam bentuk silat (Minang:Silek) dari berbagai daerah di Minangkabau.
Pada umur 28 tahun (Tahun 1897) beliau jatuh
cinta kepada seorang gadis Padang. Puteri dari seorang ahli kebatinan yang
berdasarkan agama Islam (Tasawuf). Untuk mempersunting gadis ini beliau harus
memenuhi bebana, dengan menjawab pertanyaan dari gadis pujaannya yang berbunyi
“SIAPAKAH SESUNGGUHNYA MASDAN” dan “SIAPAKAH SESUNGGUHNYA SAYA INI ?” (gadis
pujaan itu ?). Karena beliau tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut
berdasarkan pikirannya sendiri, maka beliau berguru kepada seorang ahli
Kebatinan yang bernama Nyoman Ida Gempol. Adalah seorang Punggawa Besar dari
Kerajaan Bali yang di buang Belanda ke Sumatra (Padang), dan di kenal dengan
nama Raja Kenanga Mangga Tengah.
Akhirnya bebana yang diminta gadis pujaan beliau dapat dijawab, dengan menggunakan ilmu dari Raja Kenanga Mangga Tengah tadi. Dengan demikian beliau berhasil mempersunting gadis Padang, putri dari seorang ahli Tasawuf. Dari pernikahan ini, beliau belum berhasil mendapatkan keturunan.
f. Lhok Seumawe, Aceh (1898-1900)
Pada tahun 1898 , beliau bersama istrinya pergi ke Aceh, dan bertemu adiknya (Soeradi) yang menjabat sebagai Kontrolir DKA di Lho Seumawe. Di tempat ini Ki Ageng Soerodiwirdjo berguru kepada Tengku Ahmad Mulya Ibrahim. Ia juga belajar memperdalam ajaran kebathinan kepadaTengku Cik Bedaya (Tokoh Ulama dari Bedaya, Pidie)
Dari daerah Aceh Utara ini Ki Ngabehi Soerodiwirjo menghimpun dan menguasai permainan pencak silat Langsa, Simpangan, Kucingan, Binjai dan Tarutung.
g. Batavia dan Bandung (1900 - 1901)
1900 Ki Ngabehi Soerodiwirjo
kembali ke Betawi bersama isteri, dan beliau bekerja sebagai Masinis menjalankan Stoom
Wals. Disini rumah tangga Ki Ngabehi Soerodiwirjo mengalami ketegangan, hingga akhirnya memutuskan untuk bercerai, dimana mantan istri Ki Ngabehi Soerodiwirjo kembali ke Padang, dan beliau sendiri kemudian pindah ke Bandung.
3. Berdirinya Persaudaraan Setia Hati (1903-1944)
Pada tahun 1902 Ki Ageng Soerodiwirdjo
kembali ke Surabaya dan bekerja sebagai anggota polisi dengan pangkat mayor
polisi. Di Surabaya beliau dikenal keberaniannya dalam memberantas
kejahatan. Kemudian beliau pindah ke Ujung, dimana sering terjadi keributan
antara beliau dengan pelaut-pelaut asing.
Tahun 1903 di daerah tambak
Gringsing untuk pertama kali Ki Ageng Soerodiwirdjo mendirikan perkumpulan
mula-mula di beri nama ‘SEDULUR TUNGGAL KECER” dan permainan pencak silatnya
bernama “ DJOYO GENDILO TJIPTO MOELJO” pada tanggal 10 April 1903 (Jumat Legi, 12 Suro 1323 H)
1905 Untuk kedua kalinya beliau melangsungkan pernikahan dengan Ibu Sarijati yang saat itu berusia 17 tahun, dan diperoleh putera dari pernikahannya sebanyak 3 (tiga) orang putera dan 2 (dua) orang puteri, dimana semuanya meninggal sewaktu masih kecil.
Bapak Setia Hati, Saudara tertua, Oude Herr Ki Ngabehi Surodiwiryo dan Ibu Setia Hati Ibu Sariyati Istri ke 2 dari Ki Ngabehi Surodiwiryo |
1912 Beliau berhenti dari Polisi Dienar bersamaan dengan meluapnya rasa
kebangsaan Indonesia, yang dimulai sejak tahun 1908. Beliau kemudian pergi ke
Tegal dan ikut seorang paman dari almarhum saudara Apu Suryawinata, yang
menjabat sebagai Opzichter Irrigatie.
1914 Beliau kembali lagi ke Surabaya dan bekerja pada D.K.A. Surabaya.
Selanjutnya beliau pindah ke Madiun di Magazijn D.K.A. dan menetap di Desa
Winongo Madiun.
Pada tahun 1917 nama tersebut berubah, dan berdirilah pencak silat PERSAUDARAAN SETIA HATI, (SH) yang berpusat di madiun tujuan perkumpulan tersebut diantaranya, agar para anggota (warga) nya mempunyai rasa Persaudaraan dan kepribadian Nasional yang kuat karena pada saat itu Indonesia sedang di jajah oleh bangsa belanda.
1933 Beliau pensiun dari
jabatannya dan menetap di desa Winongo Madiun.
1944 Beliau memberikan pelajaran yang terakhir di Balong Ponorogo
Kemudian beliau jatuh sakit dan akhirnya wafat pada hari Jum’at Legi 10
November 1944 jam 14:00 (Bulan Selo tanggal 24 tahun 1364 H), di rumah kediaman
beliau di Winongo. Dimakamkan di Pesarean Winongo dengan Kijing batu nisan
granit, serta dikelilingi bunga melati.